Alpaca dan Bianglala

Masih dalam nuansa libur lebaran, April 2021.

Di bulan yang sama, di akhir bulan Ramadhan.
Ponsel ku berdering begitu nyaring, sedikit bising hingga ibu menyerahkan benda mati namun hidup itu kepada sang pemilik.
Iya, kepadaku.

"Mbak, ini ada yang telpon."

Lekas ku selesaikan kegiatan berkutat dengan penggorengan dan adonan yang baru saja terjun ke wajan. Duduk sembarangan, dan membenarkan napas karena takut ada kesalahan yang (segaja atau tidak) aku perbuat kepada sang lawan bicara.

'Apakah nilai anak beliau turun? ataukah aku yang salah dalam memberikan penjelasan ketika sesi les privat? atau ....?'

Menepis isi kepala yang mulai berkeliaran tak karuan, menggeser tanda panggilan dengan segera dan lekas memberi salam.

Singkat kata, aku membulatkan mata selepas mendengar kalimat yang benar-benar jauh di luar kepala.
Menatap air muka ibu yang ikut bingung namun nampak jauh lebih tenang dariku tentunya.
Ibu mengangguk, lalu ku selesaikan dengan baik pembicaraan di ponsel setelahnya.

Salah satu wali murid, mama dari siswi yang melaksanakan pembelajaran privat sepulang sekolah.
Melakukan panggilan singkat, dan bertanya yang sudah ku jawab sebelum mematikan ponsel dalam pembicaraan jarak jauh tadi.

Awalnya beliau sedikit bercerita, bila mana ada salah satu teman yang merangkap sebagai tetangga beliau meminta izin.

'Boleh tidak mbak, nomor ponsel kamu diminta untuk sekadar bertukar sapa dengan anak bungsu beliau? mungkin bisa jadi teman setelahnya.'

Kalimat panjang itu masih melekat, terngiang, menancap, dan sedikit mendebarkan jauh dari sebelumnya.

Hari-hari pun berlalu, di pertengahan bulan Mei.
Sebuah pesan singkat, dengan penggunaan dan tata bahasa yang sangat formal mulai terbaca perlahan.
Pesan yang membuat aku langsung berlari kearah Ibu dan meminta saran, bagaimana cara membalasnya.
Bukan balasan yang bagaimana, namun menjawab kalimat singkat dengan pembawaan cukup formal dari aku yang sangat blak-blakan.

Formalitas tegur sapa kami berselang beberapa hari sekali, misalnya jika Ia memberi atau membalas pesan hari ini, akan ku balas pesan itu lusa bahkan besok lusanya.
Tapi percayalah.
Semakin lama, topik yang kami bahas seolah menuntut untuk lekas terbalas di hari itu juga.

Salah satu momen pertama kali aku memutuskan untuk melakukan panggilan yang terbilang cukup lama (panggilan ponsel pertama) dengan pembahasan yang merumitkan isi kepala.
Bahkan, segala macam pertanyaan yang akan aku tanyakan sudah ku tulis rapih di catatan yang selalu ku bawa kemana saja.

Di rumah kakak, kami melakukan panggilan untuk pertama kalinya.
Di rumah kakak, kami saling membalas pesan di hari yang sama (walaupun satu hari tetap paling banyak 3 pesan yang terbalas).

Penghujung tahun 2021.

Aku memberanikan diri untuk bertemu dengan dia secara tatap muka.
Bertemu, bertatap muka, berbicara, dan bercerita segala hal yang tidak pernah kami ketahui dalam bidang pekerjaan kami yang sangat jauh berbeda.

Jujur, awalnya aku hanya ingin menghargai ia sebagai lawan diskusi yang baik.
Membalas budi baik hatinya yang sudah membantu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan penting ku selama melakukan proses pengisian persyaratan pendaftaran CASN (walaupun aku tidak lolos di bagian administrasi pertama).

Saat ia kembali ke daerah asalnya.
Iya, pekerjaannya yang membuat ia menjadi perantau menyeberangi pulau.

Sepulang kerja, setelah meminta izin pada kedua orang tua yang di rumah (via chat, tentunya).
Sebuah motor terparkir di depan rumah singgah (kos), dengan seorang laki-laki yang memang memiliki janji untuk bertatap muka di hari ini hingga satu minggu kedepannya.

Di sebuah tempat wisata, dan Alpaca adalah tujuan utamanya.
Sejenis Domba dengan leher panjang namun tidak lebih tinggi dari Lamma, aku mulai nampak kegirangan, menyaksikan sekelompok Alpaca yang tengah berlarian.

Tempat wisata berikutnya, dengan antrean yang cukup panjang.
Air mukanya nampak khawatir menatap sebuah keranjang besar yang berputar perlahan sebagai wahana di tengah kota.

"Aku takut dengan ketinggian, tapi jika di dalam Bianglala, semua nampak jauh lebih indah dari apa yang terkira. Percayalah!"

Iya, aku meyakinkan ia yang takut untuk pertama kali menaiki wahana paling aku suka dimanapun kala aku melihatnya.

Berhasil!

Ia nampak menikmati beberapa menit kala kami tengah berada di dalam keranjang besi berputar itu, aku cukup bangga karena meracuni hal baik yang sudah membuat ia ingin menaiki wahana ini satu kali putaran lagi.

Satu minggu berlalu.
Aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang kakak laki-laki dengan dia.
Merasakan menjadi adik perempuan yang selalu terkawal aman oleh kakaknya.
Dia yang detik itu juga aku panggil Abang Alpaca.

Dia dan Alpaca yang dimataku nampak tak jauh berbeda.
Baik hatinya selembut bulu domba,
pergerakannya yang perlahan namun tegas dengan segala macam jawaban dari semua pertanyaan yang aku lontarkan.
Point plusnya adalah ia yang selalu mampu menjawab apapun pertanyaan ku secara logis dan bisa di terima oleh rumitnya isi kepalaku.

Tahun berlalu begitu cepat, secepat pertanyaan singkatnya yang membuat isi kepalaku berhenti sejenak.
Niat baik yang tak pernah ku sangka, mengudara dari sua barithonnya.
Banyak kebimbangan yang bergulat di kepala, bergejolak, bergemuruh jauh lebih riuh dari gulungan samudera.

Awal tahun 2023.

Selepas senja, masih di balik layar ponsel kala kami bertatap muka.
Bedanya, panggilan video kali ini tersambung dengan panggilan orang tua ku yang ada di rumah.

"Pak, Saya mau meminta izin untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan Putri bapak."

Air mataku mengalir perlahan, bersamaan dengan gemuruh paling hangat di relung yang selama ini aku tahan.

20 Agustus, 2023.

Tepat satu hari setalah tanggal kelahiranku.
Ia datang dengan keluarga besarnya, bersama dengan segala niat baik dan sambutan hangat dari keluarga ku tentunya.

Kami melangsungkan prosesi Lamaran, peresmian ikatan kami dengan niat baik menuju Sunnah yang di izinkan Tuhan.

Akhir Desember, 2023.

Keluarga kami bertemu kembali, walaupun ia masih di perantauan.
Diskusi penentuan tanggal pernikahan berjalan baik dari apa yang aku bayangkan.
Keputusan keluarga kami jatuh pada tahun berikutnya, dua minggu setelah Hari Raya Idul Fitri tepatnya.

28 April 2023.

Prosesi Akad akan kami selenggarakan, di sebuah masjid tak jauh dari rumahku.
Janji suci di hadapan Tuhan dan semua makhluk ciptaanNya terlantunkan.
Sebuah jalan paling mulia yang semoga akan terus kami bawa hingga ke SyurgaNya.
Sebuah ladang pahala paling mulia bagi Umat muslim, tentunya.

Banyak semoga yang akan terus mengudara, segala harapan dari do'a baik untuk keberlanjutan kisah kami selanjutnya.
Kisah yang akan tersimpan rapih dengan segala hal baik dalam genggamanNya.

Tunggu, belum aku jelaskan mengapa aku ingin menjadi Bianglala untuk ia yang ku panggil Alpaca.

Bianglala yang selalu membawa kami berputar dengan lembut mengikuti perputaran jalan Tuhan yang tak pernah kami tahu akan seperti apa nantinya.
Bianglala yang selalu membawa pada hembusan lembut angin di setiap harinya.
Bianglala yang melindungi dari ketinggian tak terkira, namun tetap aman karena kokohnya keranjang besinya.
Bianglala yang menjadi wahana paling dirindukan dari segala suasana.
Bianglala yang selalu menunggu Alpaca kembali pulang dengan segala kisah yang mungkin hanya akan terdengar di telingaku saja.

Kepada kamu yang ku Panggil Alpaca..

Terima kasih sudah hadir.
Dan memutuskan untuk menjadi sebuah jawaban,
bukan lagi menjadi sebuah pilihan.

Tertanda,
-Bianglala-

Comments

Popular posts from this blog

Hello, Aku.

Awan, dengan segala keteduhannya~