Namanya, Surya.
Hai, apa kabar kalian?
Disini, aku ingin menceritakan satu kisah anak manusia yang tengah kagum pada sosok manusia lainnya.
Sosok yang entah sejak kapan terus bersarang dikepala, bahkan hingga satu minggu ini mulai meronta ingin mengudara.
Baiklah, akan aku udarakan semuanya secara perlahan.
Panggil dia Surya.
Hai, Surya.
Sehat, bahagia selalu dimanapun kamu ya.
Laki-laki dengan sweater rajut merah dan kupluk hitamnya,
jangan lupa dengan kaca mata minus yang selalu bertengger dan menjadi ciri khasnya.
Laki-laki yang beberapa kali dengan sengaja atau tidak,
segala tindakannya memiliki cahaya yang cukup menyilaukan mata terbanding lainnya.
Itu mengapa, Surya adalah nama yang cocok untuknya.
‘Eh, ulang’
Tawa kami menggema entah untuk kesekian kalinya, pada momen yang hampir sama atau bahkan sama sekali tak terkira.
Gemuruh menggebu dengan gulungan abu pun datang silih berganti,
pada Surya yang mulai bergerak dengan dunianya atau cahaya lain yang menyilaukan memenuhi ruang terbuka.
Jujur, Surya memang sangat berbeda dengan yang lainnya.
Bukan hanya perihal pembawaannya, apapun langkahnya memang termakna berbeda.
‘Senyum dong, kita foto sama-sama’
Salah satu momen paling menghangatkan yang pernah terjadi,
pada circle yang entah sampai kapan akan menjadi jembatan terhangat dari segala sisi.
Kami tengah duduk sejajar dibalik sebuah alat musik tradisional Jawa,
disamping kami pun masing-masing bersama dengan pemain cilik yang jelas jauh lebih handal dari kami berdua.
Dia mengarahkan kamera ponselnya untuk kami berswa foto,
ada rengkuhan yang kami jaga atas nama kepedulian dan kehangatan kemanusiaan.
Baiklah, dia memiliki sinar atas nama kemanusiaan yang paling menonjol diantara yang lain.
Jauh lebih terang dari taburan gemintang,
silau mata ini menjadi penghalang,
atau bahkan jalan yang nampak jauh lebih terang.
Dilain sisi,
ada riuh penonton yang menyambutnya dengan air muka paling ceria.
Menatap kosong dengan rekah paling hampa,
hangat yang awalnya nyata kini mendadak beku untuk yang kesekian kalinya,
bahkan semakin kentara.
Guntur kala itu nampak jauh lebih menegangkan dari sebelumnya,
entah lebat hujan yang bagaimana mampu mendatangkan Pelangi dalam riuhnya halilintar.
Setelahnya,
layar kaca paling tebal pun mampu tertembus dingin sedemikian rupa.
Baiklah Surya,
sepertinya kalimat ini berhenti pada riuh kepala yang entah bagaimana mengurainya.
Sehat, Bahagia selalu Surya dengan segala cahaya disekitarnya.
Dan bila diizinkanNya,
menggenggam waktu dalam satu momen untuk meredam segala gemuruh yang ada.
Surya,
ada pantulan cahaya yang merindukan kehangatan rekah berupa karya teratasnamakan kebaikan manusia.
Terimakasih sudah menyempatkan untuk sekadar duduk dan membaca,
bahkan dari sudut yang berbeda.
Tertanda,
-penaberjalan-
Comments
Post a Comment